pengen ngopas atau ngutip isi blog ini??? izin dulu kam bray ke razakiko@yahoo.com biar makin ganteng hehe :)

"Sian Ratto Mulak tu Ratto", Pulang ke Bukittinggi Dadakan Setelah UTS


“Sian Ratto Mulak tu Ratto”, Pulang Kota Dadakan Sehabis UTS Terakhir

Pulang ke tanah kelahiran ke Kota Bukittinggi Sumatera Barat secara mendadak tanpa perencanaan yang matang ternyata membuat orang-orang di sekitarku terkejut sambil melontarkan beberapa pertanyaan untuk menjawab rasa penasarannya. Pulang dengan ALS bangku 13 membuat rasa cemas bergemuruh di hatiku, apalagi aku pernah menitip Ulos Ragi Hotang yang identik dengan upacara kematian kepada salah seorang temanku. Perjalanan ini harus menarik untuk dikisahkan dan dinikmati, tetapi di perjalanan tak begitu banyak yang menarik sehingga membuatku lebih banyak tertidur. Kepulanganku ke Bukittinggi tanpa silua (oleh-oleh) ternyata masih di sambut dengan senyum manis keluargaku di rantau ini.

Malam Persiapan Pertampuran , Hapibide Rara ^­__^

Malam itu aku terlihat agak sibuk.  Ku siapkan kopekan untuk dua mata kuliah. Teori Perubahan Sosial Budaya dan Hubungan Antar Etnis. Ternyata setelah dikopek, bahan ujian yang tadinya hampir setinggi Gunung Sinabung bisa diperkecil ukurannya menjadi satu halaman dua halaman kertas binder yang ku lipat dua. Haram bagiku untuk membuka kopekan, apalagi ini hanya UTS ces. Teman-temanku di kampus bilang UTS itu akronim dari Ujian Tidak Siap. Hahahahaha. Tapi prinsipku siap tak siap hadapilah tembokmu. Mungkin aku terlihat sedikit aneh, komat-kamit seperti membaca sebuah mantra dan memegang sebuah jimat. Ya ini memang sebuah jimat dan kidungan mantra. Mantra sukses ujian dan sukses untuk mendapakan cita-citaku. Cita-cita??? Ya anda semua benar. Aku bercita-cita untuk mendapatkan title S.Sos selama 3,5 tahun. Macam betul ja si Kiko ini bah. Mudah-mudahan itu semua terkabul TUHAN. Amoooooon.
Teng teng teng waktu telah menunjukkan jam 12 malam. Ku rangakaikan kata-kata ucapan meski tak semanis madu karena dadakan. Ku kirim melalui pesan singkat ke hpnya, ku updatekan di status Facebookku , tidak lupa pula ku kirimkan ucapan itu di Group Facebook kami, Antro Connection 09. Ini hari yang special buat sahabatku. Rahmah Ariasty atau yang akrab kami panggil Rara. Hari ini genap sudah ia berumur 19 tahun. Oh iya Rara adalah sahabatku yang paling dekat selama berkuliah di Departemen Antropologi Sosial FISIP USU. Hampir 2 tahun kami menjalin pertemanan dan insyaALLAH selamanya. Tak kan aku lepaskan sahabat sepertimu Ra. Hohohohoho. Berawal dari Inisiasi Antropologi 2009 (Mencari Makna di Tengah Realitas) persahabatan kita bermula.

Pertarungan Terakhir

Jumat, 25 Maret 2011. Ku percepat langkahku menuju ke kampus FISIP USU tercinta. Ku tapaki langkahku secepat bus patas lintas barat.  Waktu masih menunjukkan pukul 07.30 WIB waktu di hp Nokia tipe 5000 milikku. Kampus belum terlalu ramai. Ketika melintasi koridor gedung A di depan mading Antropologi ku sapa senior kami Kak Santa Simamora 08. Senyuman ramah Kak Santa seolah memberiku semangat pagi itu. Saat ku bertanya kemana kerabat-kerabat Antro Connection 09 ku? Dalam kesendirianku pagi itu ku bukak lagi kopekan-kopekanku. Ku hafal setiap kata yang ada pada lembaran jimat itu satu per satu. Suasana seperti ini sangat membantuku untuk menghafal. Aura gedung FISIP yang lengang seakan memberikan energy positif bagiku.
Kindi menghampiriku memecahkan kekhusyukanku yang tengah membaca mantra.  Tapi beruntung aku bertemu Kindi. Setidaknya kami bisa take and give tentang bahan UTS. Ini sangat membantuku dalam memperlancar hafalan dan menambah bahan yang belum ku ketahui. Berikutnya teman-temanpun berdatangan satu persatu, tapi kemana Rara? Gak  sabar rasanya jadi anak antro pertama yang mengucapkan secara langsung selamat ultah padanya.
Rara pun datang. Sambil senyam-senyum ketika ia tengah berjalan kea rah kami, langsung ku samperin dia dan bilang Hapide Rara. Langkahku memberikan ucapan diikuti oleh teman-teman yang berkumpul bersamaku.
Beberapa jam kemudian kami asyik mengerjakan soal-soal UTS Teori Perubahan Sosial Budaya. Ternyata ujian itu terasa lebih enteng kalau kita menghafal. Aku selama ini tidak pernah menghafal, hanya mengandalkan daya ingatanku yang memang menjadi kebanggaan kedua orang tuaku semenjak aku tengah bersekolah di taman kanak-kanak. Tapi mekin dewasa daya ingatanku terasa makin berkurang. Entah karna efek apa ?
Kertas ujianku sudah terisi penuh. Aku keluar dari ruangan ujian diikuti oleh Rara. Kami  pergi ke kantin membeli kue dan yang tak boleh ketinggalan adalah makan pokok kami “tempe goring etek kantin fisip usu”. Ya seenarnya Group Pencinta Tempe Goreng Etek Kantin FISIP USU ini anggotanya ada tiga orang. Hampir setiap hari kami membeli tempe si etek. Kami bertigalah yang mempromosikan tempe goreng kepada kerabat-kerabat kami 2009. Aku, Rara, dan Tety Yunita Gultom. Dulu kami bertiga selalu pergi bertiga kemanapun. Pajus (Pajak USU) yang kami juluki Plajus (Palaja USU), adalah tempat favorite yang sering kami kunjungi. Tapi seiring terbakarnya Pajus, kenangan kami bertiga seakan ikut menghilang bersama runtuhan puing-puing terakhir Pajus. Beberapa semester terakhir ini kami tak pernah lagi jalan bertiga. Meskipun demikian kalian tetap bersemayam di hatiku. Kalian lebih dari sekedar kerabat bagiku. Kembali ke laptop. Hehehe. Ku kira tadi Rara ngajak jajan buat ditraktir, eh ternyata bayar masing-masing. Hohoho. Gak apalah yang penting rasa kebersamaannya. Lagian ini tanggal tua ces. Kami habiskan makanan-makanan itu di kelas sambil menghafal. Kali ini kami benar-benar terlihat seperti mati kutu dan kehilangan kekreatifitasan. Akhirnya kami membuat ukiran-ukiran contekan di dinding dan bangku. Maklum bahannya benar-benar sulit untuk dihafalkan.
Ujian ke dua lebih terasa lebih sulit dibandingkan ujian tadi pagi. Mata kuliah yang diujikan adalah Hubungan Antar Etnis. Mata kuliah ini sebenarnya diampu oleh dosen yang sama. Kata senior-senior kami susah buat mendapatkan nilai yang bagus dengan Beliau. Tapi aku yakin bisa mendapatkan nilai bagus. Berhubung sesama keturunan darah Minang, aku yakin bapak ini tak separah apa yang dikatakan oleh senior-senior. Ku rasa bapak itu tanda kalau aku anak perbatasan (gabungan Minang dan Batak Mandailing walaupun aku tidak mengatakannya. Ini terlihat dari sudut mata sang bapak ketika tengah memandangiku. Jam 11 ujian bubar.  Fikiranku terasa enteng setelah melepaskan beban seberat puluhan ton. 

Mendapakan Bisikan  Gaib

Setiap teman-teman yang ku tanyai siang itu seperti satu suara berkata kalau mereka akan pulang kampung. Ada yang pulang kampung pada hari itu, namun ada pula yang pulang keesokan harinya. Ada yang pulang ke Aceh, Sidimpuan, Duri, Bagan Batu, Siantar, Simalungun, dll. Pokoknya anak antro 09 memang multi-etnis yang menyebar dari utara ke selatan dan barat ke timur.  Dari sekian banyak yang ku Tanya ada juga beberapa yang tidak pulang kampong karena alasan tidak ada uang dan tanggung kalu libur seminggu. Entah setan darimana yang berbisik pada diriku saat itu. Tiba-tiba ku keluarkan hp jelekku dank u kirimkan sms pada bapakku di Bukittinggi. Senang rasanya ketika Bapakku mengizinkanku untuk pulang ke tanah kelahiranku. 

Aku dan O.C.T (Odong-Odong Community Together)

Ke perpus siapa takut. Ku iyakan ajakan teman-teman O.C.T. oh iya perkenalkan ada Sentani H.E Purba, Rona Maria Girsang, Marlina Irene Hutagalung, dan Mona Helenita Situmorang. Sebenarnya masih ada lagi anggota O.C.T lain, tapi entah kemana Tripesar Jhon Tuan Panjaitan dan Azhari Ikhlas Siregar menghilang di telan bumi. Kebetulan ada buku yang hendak mereka cari. Aku ya palingan cumin OL. Oh iya yang paling penting adalah mengcopy photo-photo PKL kami di Lubuk Pakam mengenai Upacara Pangguni Uttiram, mana tau ada kesempatan membuat laporan di Bukittinggi batinku.
Ah sial rusak pulak ATM BNI Perpus ini, aku meggerutu di dalam hati. Padahal aku butuh uang untuk ongkos pulang ke Sumatera Barat. Akhirnya dikawani oleh Rona dan Sentani kami mengambil uang di ATM Birek. Lumayan jauh dan harus balik-balik lagi dan memakan waktu yang banyak. Karena setelah mengambil uang kami bermaksud untuk membeli headset di Pajus. Aku dan Rona kembali berjalan menuju Pajus melewati Sumber tanpa Sentani kerena penyakitnya sedang kumat. Dengan sempoyongan ia berjalan menuju gerbang pintu II USU. Kami pun berpisah di pintu II.
Ku minta tolong Rona untuk menelpon loket ALS. Nada bicara seseorang di ujung telepon yang agak kasar dan membuat orang menjadi emosi. Dapatlah bangku pesananku. Bangku 13. Bangku dengan nomor yang orang-orang anggap sebagai angka sial tapi bagiku angka keberuntungan karena bangku itulah yang nantinya membawaku kembali pulang ke tanah kelahiranku.

Jemput Tiket

Setelah beristirahat sebentar di kost ku, ku lanjutkan perjalanan untuk menjemput tiketku. Biarpun hujan badai langkahku tak surut sedikitpun untuk menjemput tiket. Tiket pun berhasil ku dapatkan dengan membayar sebesar Rp. 150.000. Perjalanan pulang kembali ke kostan ini membuatku agak sedikit meras pusing dan hampir mutah, mungkin karena aku belum makan siang dan  karna angkotnya terlalu ngebut. Dengan nafas yang satu-satu antara sadar dan tidak sadar ku langkahkan kaki ke Kost 18 Gang Dipanegara. Saking capeknya aku terlelap hingga malam menjelang.
Pada saat aku makan malam, ku beritahukan kakakku tentang maksud kepulanganku esok. Kak Menti terlihat agak sedikit terkejut. Memang aku tau ini bukan saatnya untuk pulang kampong. Jadwal pulang kampong ada di bulan enam. Ia hanya menitipkan salam buat bapak dan ibuku. Dia juga bilang jangan lupa makan dan membungkus bekal. 

Hari Keberangkatan

Sabtu, 26 Maret 2011. Seamat pagi hari yang ku tunggu. Jam 08.30 aku bangun setelah ku ingkari jam alaram yang telah capek bordering membangunkanku setengah jam yang lalu. Packing beberapa helai pakaian yang ku masukkan ke dalam tas kuliahku. Acara packing kali ini tanpa oleh-oleh (silua). Maklum ini pulang dadakan di tanggal tua.  Saatnya mandi sambil mencuci pakaian dalam yang telah menumpuk setengah ember. Tapi mana sabunnya? Terpaksa aku kembali ke kamar dengan terburu-buru mengambil sabun, odol, dan kawan-kawannya. Setelah itu aku makan di kamar Kak Menti dan tidak lupa menyiapkan bekal.
10.40 WIB aku berangkat meninggalkan kost pamit sama Rina, spontan dia juga terlihat agak kaget. Aku berjalan menuju gang sebelah, Gang Golf, menunggu angkot 135 di samping Minimarket Ananta. 

Motor ALS yang Multi-Etnis

Ketika aku sampai langsung saja ku laporkan tiketku ke loket keberangkatan. Bosan juga menunggu di Pull ALS ini meskipun ditemani TV. Sesekali ku lihat motor ALS yang diparkir di luar jendela kaca sambil menghitung bangkunya, ya bangku 13  berarti di situ dekat kaca pikirku. Beberapa saat kemudian terdengar suara wanita dari microphone yang mengatakan. “Penumpang ALS nomor 358 tujuan Bukittinggi-Padang harap segera memasuki bus”. Dengan semangat ku langkahkan kakiku menuju bus.
Yapz ini dia Bangku 13 yang dianggap keramat bagi sebahagian orang yang mempercayainya. Tak ada yang masalah dengan bangku 13. Biasanya aku tidak akan pernah mau selain bangku 1, 2, 3, dan 4. Biasanya aku akan mabuk kalau duduk di belakang karna kalau duduk di depan pemandangannya lepas dan harus nampakku keloknya jalan. Karena ini pulang dadakan jadi aku tidak bisa memilih bangku favorite ku.
 Gak sepenuhnya keyakinanku terhadap bangku 13 adalah bangku asyik itu benar. Saat ku tau kalau yang duduk di sampingku adalah seorang bapak-bapak latah. Kenapa aku bilang latah? itu karena di sepanjang perjalanan dia tak pernah bisa diam dan selalu menceracau sendiri. Ia mengakunya adalah alumni pertanian USU ketika berkenalan denganku. Aku memang terlihat agak sombong dan cuek dengan orang yang tidak ku kenal.
Nggak ada yang menarik untuk dikisahkan selama perjalanan. Tapi aku berusaha menikmati dan membuat perjalanan ini menarik untuk dikisahkan. Layaknya seorang antropolog yang tengah mencari kebudayaan dari sudut pandang masyarakat asli. Ku coba untuk menyatu dengan keberagaman etnis ini. Ada orang Minang, Batak Toba, Batak Mandailing-Angkola, Cewek China jelek tapi sombong yang naik di Siantar, Melayu, dll. Yang pastinya tidak ada orang yang memiliki dua kebudayaan sepertiku. Hingga matakupun terpejam tanpa dikomandoi.
Bangun-bangun kami sudah sampai di Terminal Sosor Saba Parapat, nggak sempat melihat dan menikmati keindahan Danau Toba di kala senja yang selalu ku nantikan. Suara  Oppung panggadis Kaccang Sihobuklah yang membangunkanku dari tidur lelapku. Ia menawarkan dagangannya seharga Rp. 5.000 per bungkusnya. Aku dan yang lainnya tidak ada yang membeli kecuali dua orang Batak Toba yang duduk dibelakangku.
Ku lanjutkan kembali tidurku hingga aku terbangun saat kami berhenti di Pasar Porsea dalam waktu yang cukup lama karena menaikkan barang. Aku sangat menyukaipemandangan  rumah-rumah adat Batak Toba di tengah sawah sepanjang perjalanan menelusuri kabupaten Tapanuli Utara. Dimanjakan pemandangan indah mataku kembali terpejam. Jalan  yang kami tempuh semakin buruk dan membuat aku terasa pusing dan mual. Ku keluarkan jurus minyak kayu putih sisa sebagai pertolongan pertama. Minyak kayu putih sisa ketika aku bertugas sebagai seksi kesehatan inisiasi antropologi 2010 di Parapat lalu.

Brrrr  Ngali Nai Poank, Ayok Kita Makan . . .

Jalan Lintas Pahae-Sipirok, jam 10.00 WIB akhirnya kami berhenti untuk makan malam. Dinginnya malam itu membuatku menggigil. Apalagi ketika aku ke kamar madi untuk buang air kecil dan mencuci muka. Kembali ke atas bus untuk menikmati bekalku yang hampir basi. Badanku yang tadinya menggigil perlahan kuat dan panas.  
Setengah jam beristirahat perjalanan dilanjutkan. Ada seorang wanita yang mengaku polwan kehilangan hpnya ketika ia tengah tertidur pulas tadi saat kami turun. Ia mengancam kami semua akan diperiksa di Polres Sipirok kalau tidak ada yang mengaku. Semenjak itu ku paksakan mataku untuk tetap terbuka walaupun sudah berat karena efek antimo. Siapa tau nanti ada orang yang usil memasukkan hp tersebut ke dalam tasku. Tapi mataku tak bisa di ajak kompromi dan akhirnya kembali terlelap. Untung gertakan sang polwan tidak jadi direalisasikan.

Horas Mandailing Natal

Hmmm aroma kipang dan halame. Yups kita telah sampai di Panyabungan Mandailing Natal. Aku sangat menyukai kota ini karena kehidupannya tidak jauh berbeda dengan di kampungku Pasaman Barat sana. Tapi tidak seperti biasanya aku tertidur ketika berhenti di Terminal Kota Nopan. Padahal aku sangat menantikan moment-moment pergantian hari di Madina. Aku selalu melakukan observasi kecil-kecilan tentang kehidupan masyarakat di sekitar pinggiran Batang Gadis. Tapi harus gagal karena mata yang tak bisa diajak kompromi.

Selamat Pagi Ranah Minang Rao-Panti Pasaman Timur

Matahari terlihat senyum padaku di saat tetesan embun pagi yang melekat pada kaca bus kami perlahan mulai mongering. Aku tidak boleh tidur lagi selama berada di Pasaman kampung kami. Senang rasanya melihat wajah-wajah khas dan aktifitas yang mereka lakukan di hari Minggu itu. Bus ALS kami sering berhenti untuk menurunkan penumpang. Aktifitas jual beli di Pasar Inpres Tapus  pun mulai terlihat sibuk. Saat ku perhatikan seorang anak kecil berkemeja rapi tengah berlari menuju HKBP. Ya inilah kampung kami yang multicultural, mayoritas orang Batak Mandailing-Angkola dan Minang, akan tetapi ada juga etnis lain seperti Batak Toba, Karo, Jawa, dan Melayu pastinya. Sangat menarik kalau suatu saat aku membuat sebuah etnografi atau bahkan sebuah skripsi tentang kampung kami ini.

Home Sweat Home

3 jam kemudian sampailah kami di tanah kelahiranku. Bukittinggi The Dreamland of West Sumatera. Saat bapakku menelpon kami sudah ada di Gulai Bancah atau Balaikota Bukittinggi. Sesampainya di terminal, ku lihat mobil kijang merah bapak sudah parkir di seberang jalan. Ku salam tangan beliau. Sebelum pulang ke rumah kami terlebih dahulu ke Pasar Bawah. Tak ada yang berbeda dari SMAN 1 Landbouw Bukittinggi ku, palingan cumin berubah warna catnya saja. Aku sampai di rumah yang di sambut oleh senyuman keluarga meskipun pulang tanpa membawa oleh-oleh.

Manortor Di Pesta Bona Taon Kota Medan 2011 Fakultas Sastra


RAZAKIKO HARKANI
090905026
PKL-2
ANTROPOLOGI SOSIAL FISIP USU

MANORTOR DI ACARA PESTA BONA TAON KOTA MEDAN 2011
FAKULTAS SASTRA USU

Merasa sangat beruntung karena berkesempatan untuk mempelajari tortor dan gondang apa saja yang digunakan . . .
Pengetahuan dan pengalaman berharga yang hanya kami dapatkan melalui hasil observasi langsung . . .
Tapi sayang, banyak kawan-kawan yang merupakan putra daerah tidak mengetahui jawaban dari setiap pertanyaan yang kulontarkan seputar tortor dan gondang . . .

Bermula dari Kemalasan Kuliah di Akhir Pekan

Sabtu, 12 Maret 2011. Sebenarnya tak ada perkuliahan hari itu, namun ada kuliah pengganti sehingga penulis tatap memacu semangat berjalan menapaki kaki dan mengayuhkan tangan menelusuri pintu 1, memintas perpustakaan hingga tembuslah di FISIP USU tercinta. Perjalanan kaki yang memakan  waktu kurang lebih 30 menit itu dipayungi hangatnya radiasi sinar mentari namun masih ada awan yang menyelimuti langit Kota Medan siang itu. Dalam perjalanan penulis melihat ada seorang anak laki-laki kecil mengenakan kain sarung dan duduk di samping ibunya dalam sebuah becak menuju pintu satu. Ya aku teringat  akan status Facebook salah seorang adik stambukku pagi itu.
Ternyata benar, suasuana di kampus terlihat berbeda dari hari-hari biasanya. Ada sebuah panggung dan di depannya terdapat tenda yang dipenuhi oleh kursi-kursi lipat, stand makanan di pojok kanan panggung, dan sebuah tenda biru putih yang agak tertutup di sebelah kiri panggung. Tampak anak-anak laki-laki ditemani orang tuanya tengah duduk-duduk pada bangku tersebut. Ada yang mengenakan kain sarung sambil dikipasi ibunya sambil menangis, ada yang tengah menunggu giliran untuk dipanggil, dan masih banyak aktifitas di sini. Tenda  tertutup itu adalah tempat dimana kegiatan khitan (red.sunat) massal dilakukan. Kegiatan ini dalam rangka memeriahkan Dies Natalis Departemen Perpajakan. Sempat terfikir dalam benak penulis untuk menarasikan kegiatan khitan massal ini sebagai tugas PKL-2. Tetapi ku urungkan niat karna menurutku tak ada yang menarik untuk dikisahkan dan penulis pesimis untuk menarasikannya sebanyak tiga sampai empat halaman.
Kuliah pengganti tersebut ternyata batal begitu saja entah karena alasan apa, padahal dosen dan ruangan kosong ada. Sedikit kecewa karna ke kampus butuh sebuah pengorbanan yang lumayan melelahkan. Tapi kemudian penulis bersama teman-teman memilih untuk menghibur diri dengan menonton band-band anak FISIP yang ikut memeriahkan panggung Dies Natalis Perpajakan. Kebetulan yang tampil  adalah Klimaks Antro, group band yang cukup fenomenal dari adek-adek stambuk kami 2010. Menonton mereka sambil makan keripik salak dan menyeruput jus salak yang ditawarkan kepada kami. Tepukan hangat penuh bangga  kami berikan kepada mereka yang telah mengharumkan  antropologi.
Ide menarik muncul dari seorang teman penulis. Ia mengatakan kalau di Fakultas Sastra sedang diadakan acara manortor. Langsung ku sambut dengan senyum manis saat fikiran-fikaranku mengatakan ini sangat menarik untuk dinarasikan sebagai tugas PKL-2. Meskipun gerimis, aku paksa dua orang temanku itu untuk menemaniku ke Fakultas Sastra. Mereka tidak menolak dan akhirnya kami berangkat menuju Fakultas Sastra.

Fakultas Sastra, Sambut Kedatangan Kami dengan Tortor

Pesta Bona Taon Kota Medan 2011, Pendopo USU, 10-12 Maret. Begitulah tulisan berwarna kuning yang tertera pada spanduk berlatarkan merah hitamnya motif ukiran khas Batak atau gorga, ada sebuah gambar animasi yang lucu yaitu seorang anak laki-laki tengah asyik memukul gondang atau gendang. Tiba-tiba langkah kami berhenti di depan gerbang Fakultas Sastra. Kami sempat ragu untuk masuk Fakultas Sastra karna pada spanduk ditulis kalau acara tersebut diadakan di Pendopo. Tak ada terlihat tarian tortor lagi di Fakultas Sastra. Hampir saja semangat kami patah, namun segera bersemangat kembali ketika sayup-sayup terdengar suara lagu Batak dari panggung di Fakultas Sastra. Lagu Unang Parmeam-Meam Ahu pun menyihir kami untuk masuk ke Fakultas Sastra.
Ada penjual Ulos Batak yang mencuri perhatianku, jujur dari dulu aku sangat mengagumi keindahan ulos yang beraneka warna dan motif. Sempat berfikir untuk membelinya tapi penulis urungkan. Kami duduk di sebuah tembok di luar tenda tapi gerimis semakin mengguyur. Kami pindah duduk pada bangku depan dalam tenda. Di samping kiri kami ada sebuah tenda khusus yang berisi sekelompok orang berbaju merah lengkap dengan Ulos Bataknya, entah siapa mereka batinku.  Untuk beberapa menit kedepan kami bertiga larut dalam alunan lagu-lagu Batak. Terkadang kami bertiga terpingkal dengan ulah sang MC yang membawakan lelucon berbahasa Batak Toba. Tidak begitu sulit memang, karena Bahasa Batak Toba sendiri banyak kemiripannya dengan bahasa kami Batak Mandailing. Hanya dua orang kawanku ini yang mengenakan jilbab dalam acara ini, biarpun ada yang lain tapi mereka mencuri-curi perhatian dari seberang jalan di luar arena kampus. Entah apa yang ada di dalam benak mereka sehingga merasa enggan untuk berbaur dan memeriahkan pesta ini. Tapi aku salutkan buat dua orang temanku ini yang memang bermental seorang calon antropolog yang tak mempunyai sifat fanatisme agama yang berlebihan. 

Mari Kita Manortor

Pucuk dicinta ulam pun tiba. Saat yang kami nanti-natikan akhirnya datang juga. MC meminta panitia bersiap-siap untuk menyambut (mardomu-domu) rombongan alumni mereka yang datang dari Siantar. Segerombolan anak-anak muda berbaju merah dan menggunakan ulos yang duduk di tenda sebelah kiri kami pun berdiri dan bersiap-siap untuk menyambut tamu mereka. Ya ternyata mereka adalah panitia acara ini, pertanyaanku tadi pun terjawab sudah. Mereka berjumlah sekitar 12-an orang, berbaris berbaris berpasangan dan enam bersaf ke belakang. Pasangan tersebut tidak hanya cewek cowok, melainkan ada keduanya cewek atau sebaliknya  keduanya cowok. Barisan mereka memanjang membelakangi pentas utama. Rombongan tamu pun berbaris seperti itu, namun mereka menghadap ke pentas utama. Berbeda dengan panitia yang berbaju sergam merah, rombongan ini tidak mengenakan pakaian seragam akan tetapi tetap menggunakan Ulos Batak. Kebetulan penulis duduk paling pinggir dan sontak tercium aroma kamper yang menandakan ulos yang mereka gunakan tersebut sudah lama tersimpan dalam sebuah lemari. Ulos yang dipakai oleh perempuan  lebih variatif dengan berbagai motif dan warna ada yang berwarna kuning, biru , ungu, merah-hitam, dsb (ulos sadum), berbeda dengan ulos laki-laki dengan motif yang hampir sama dengan warna coklat tua (ulos ragi hotang).
Kemudian salah seorang dari mereka sebagai pembicara meminta kepada seseorang di atas panggung untuk memainkan “gondang padomu-domu”, sebuah gendang penyambutan tamu. “Amang pargonci nami namalo” begitulah panggilan akrab dari seorang laki-laki yang pintar memainkan gendang tersebut. Di samping gendang yang berjumlah enam buah dengan ukuran yang tidak sama besar ini ada juga digunakan instrument music lain yaitu terompet, seruling, dan keyboard. Gendang pun dipukul diiringi suara terompet. Ini menandakan prosesi manortor akan segera dimulai.
Ketika gondang padomu-domu dimainkan, baik panitia sebagai tuan rumah dan rombongan tamu, semuanya melakukan gerakan tarian sesuai irama hentakan pukulan gendang. Panitia menari dengan gerakan kaki menjinjit yang bergerak pada bagian ujung jari kaki sambil mundur dan tangannya digerakkan seperti gerakan mengajak. Sementara rombongan tamu melakukan gerakan yang sama, namun berjalan maju dan tangannya seperti orang menyembah. Panitia terus mundur lalu membentuk formasi setengah lingkaran di depan pentas yang diikuti oleh rombongan tamu yang juga membentuk setengah lingkaran. Sehingga terbentuklah sebuah formasi lingkaran yang besar.
Kemudian pembicara tersebut menyampaikan asal mereka dan tujuan mereka datang ke tempat tersebut. Mereka berdialog menggunkan bahasa Batak Toba yang kira-kira artinya adalah sebagai berikut “Kami dari Persatuan Alumni Budi Mulya Siantar datang ke sini untuk manortor bersama panitia dan terimakasih telah menyambut kami dengan penuh rasa suka cita”.
Lalu pembicara meminta “Amang Pargonci” untuk memainkan “gondang mula-mula”. Gerakan seperti menyemabah tanpa membuka tangan dan ini hanya berlangsung sebentar saja. Tangan dirapatkan diperut dan kemudian diangkat bersama-sama (tutup rapat) hingga ujung jari setinggi hidung,Selanjutnya dilanjutkan dengan ”Gondang somba-somba”. Di sini gerakannya sudah sambil membuka tangan, bergerak dengan tangan/jari rapat seperti ”menyembah” dan bergerak berputar kekiri dan kekanan sesuai irama gondang, badan posisi berdiri tegak. Selanjutnya para rombongan tamu bergerak sambil menari mengikuti pola setengah lingkar yang dibentuk oleh panita. Untuk itu amang pargonci memainkan gondang mangaliat.
Lalu mereka bermaksud untuk menyerahkan hantaran yang mereka bawa berupa lembaran-lembaran uang kertas yang disusun mengelilingi sebuah piring dan ditengahnya ada segenggam beras. Hantaran ini mereka sebut dengan nama sakti atau silua. Memang yang mereka bawa tidaklah seberapa harganya, namun mereka menyerahkannya dengan ikhlas dan berharap panitia senang hati menerimanya. Rombongan panitia mulai mendekati salah seorang rombongan tamu yang membawa sakti atau silua tersebut. Mereka mengejar-ngejar si pembawa sakti ke manapun ia pergi sambil menyodor-nyodorkan ulos, sekilas terlihat seperti orang yang tengah menangguk ikan di sungai. Tak semudah itu untuk mendapatkannya. Terkadang mereka harus duduk, kejar-kejaran dan akhirnya pengejaran dilanjutkan pada orang yang lain karena sakti tersebut telah diopor pada orang lain. Tak heran adengan ini memancing gelak tawa para penonton. Setelah sakti berhasil direbut maka  gondang pun berhenti.
Selanjutnya adalah Marhusip. Marhusip yaitu menari berpasang-pasangan muda mudi sambil berbisik tentang informasi apapun yang mereka inginkan dari pasangannya. Di sini  sudah dapat membuka tangan-merenggangkan jari, melenggangkan ke kiri kanan atau ke atas pundak, tetapi tangan harus terbuka. Biasanya perempuan akan melenggangkan tangannya ke kiri dan ke kanan, satu melekat di pinggang dan satu melekat di depan dada, kedua tangan bergantian melenggak-lenggok, baik dalam posisi berdiri atau jongkok dan akhirnya melompat bersama sambil berteriak.
Kali ini si pembicara meminta ‘amang pargonci” untuk memainkan gondang dengan sebuah lagu dibanbantu keyboard dan tiupan seruling. Manortor dengan gerakan bebas sesuai dengan lagu apa yang diminta. Tampak suasana kegembiraan terpancar dari para penari-penari tortor tersebut. Terkadang mereka membentuk lingkaran-lingkaran kecil sambil berbuputar dengan tangan berjabatan mengelilingi seseorang atau dua orang berpasangan yang terkurung di tengah-tengah mereka.

Pembicara menyampaikan bahwa maksud kedatangan mereka telah terpenuhi. Lalu dimintalah gondang hasahatan Sitio-tio. Semua panortor mengangkat ulos dengan dua tangan dan pada hitungan beberapa ketukan gondang mereka bersama-sama meneriakkan horas horas horas sambil mengibas-ngibaskan ulos mereka. Ritual manortor pun berakhir dan mereka kembali ke tempat duduk masing-masing. Wajah capek terlihat dari mereka setelah manortor. Tetesan butiran-butiran keringat  membanjiri wajah mereka. Mereka tak dapat sembunyikan itu meski mereka masih tetap mengumbar senyuman tanpa kenal lelah dan tetap bersemangat untuk melayani rombongan-rombongan tamu lainnya yang hendak manortor.

 Kembali Manortor  di Malam Minggu

Kurang puas rasanya meskipun telah menyaksikan secara langsung tiga kali penampilan manortor. Berhubung hari telah menunjukkan waktu Sholat Maghrib kami pun memutuskan untuk pulang. Ternyata kami bertiga menyimpan hasrat yang sama untuk mencoba untuk manortor. Kami pun bermaksud untuk kembali lagi ke Fakultas Sastra setelah mandi dan makan malam. Kami pulang ke kost masing-masing.
Waktu menunjukkan pukul 08.30 WIB. Sesuai perjanjian kami berkumpul di gerbang pintu 1 USU. Aku yang dulu sampai sehingga harus menunggu kehadiran mereka beberapa menit. Anehnya mereka tidak lagi menggunakan jilbab. Aku tidak bertanya, yang adadi benakku hanya gerakan-gerakan manortor yang masih membayang dan aku harus mencobanya.
Tidak terdengar suara music-musik Etnis Batak Toba lagi ketika kami melintasi sepinya jalan pintu 1 USU di malam minggu itu. Tapi semakin mendekati fakultas sastra sayup-sayup suara gondang menghampiri telinga kami. Ternyata Fakultas Sastra sudah ramai dengan lautan manusia, ada muda mudi yang menonton dari trotoar di luar pagar kampus, saat kami torehkan pandangan kami pada bangku-bangku di tenda yang hampir tidak ada lagi bangku kosong di sana. Pintu gerbang yang sudah ditutup mematahkan semangat kami, tapi tukang parkir mempersilahkan untuk masuk dan mendorong pagarnya.
Acaranya tidak jauh berbeda dari tadi siang. Manortor dan diselingi oleh lagu-lagu Batak. Tapi ada sedikit perbedaan di sini. Yaitu tiga orang panortor perempuan dari rombongan panitia mengenakan ulos yang mereka sulap menjadi rok sebatas lutut yang sangat kreatif. Ada juga penampilan Group Band Nomaden yang didatangkan langsung dari Parapat.
 Hingga kami berjumpa dengan seorang senior kami yang tidak mau diajak kawan-kawannya untuk manortor bersama karena merasa malu. Akhirnya dengan bantuan dia hasrat  kami untuk ikut manortor bisa tersalurkan juga. Dia memintakan tiga buah ulos dari kawannya untuk kami. Mana ulos ragi hotang untuk cowoknya ? Kenapa Cuma ada ulos buat cewek ? Ku urungkan niatku untuk ikut serta manortor. Akan tetapi kedua orang teman si penulis tetap ikut manortor meski tanpa aku. Karena sudah telat mereka tidak ikut gondang padomu-domu. Mereka tampak merasa puas dan menikmatinya.
Penulis merasa sedikit kecewa karena tidak bisa mempraktekkan pelajaran manortor yang baru saja penulis dan kawan-kawan dapatkan. Tapi penulis yakin kalau suatu saat pasti ada kesempatan untuk manortor lagi. Akhirnya jam 11.00 WIB kami pun meninggalkan Fakultas Sastra. Pulang dengan segudang data tapi sayang tidak ikut mempraktekkannya.